Hingga kini ada 25 juta keluarga di Indonesia masih memasak menggunakan tungku tradisional dengan kayu bakar. Pengguna terbesar kayu bakar adalah masyarakat pedesaan yang miskin, padahal cara memasak seperti ini berbahaya bagi kesehatan.

"Penggunaan tungku tradisional membuat pembakaran tidak efisien, selain itu menyebabkan polusi udara yang signifikan. Dari 25 juta keluarga, 24,5 juta keluarga menggunakan tunggu yang sangat konvensional yakni hanya menumpuk batu bata di 3 sisi," kata Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana, di acara Launching on Clean Stove Initiative (CSI), di Kantornya, Cikini, Kamis (14/8/2014).

Rida mengatakan, akibatnya tanpa disadari penggunaan tungku tradisional untuk memasak ini, menyebabkan kematian dini karena menghirup udara (asap) di dalam rumah, akibat asap beracun yang ditimbulkan dari kegiatan memasak di dapur.

"Setiap tahunnya 165.000 orang mengalami kematian dini akibat hidup asap beracun dari tungku tradisional ini. Perempuan dan anak-anak paling banyak terkena racun ini," ungkapnya.

Melihat kondisi tersebut, Pemerintah bersama Bank Dunia, menyelenggarakan program pengadaan tungku hemat dan sehat.

"Kami mendapatkan hibah sebanyak US$ 590.000, dimana US$ 190.000 disalurkan melalui Bank BRI dan US$ 200.000 dari Ditjen EBTKE, untuk membuat 20.000 tungku hemat dan sehat," katanya.

Tungku ini akan dibagukan ke masyarakat miskin, tapi tidak gratis, namun dengan harga terjangkau. Tungku ini masih menggunakan bahan bakar kayu, namun lebih efisien dalam pembakaran.

"Harga kompornya Rp 250.000-Rpp 350.000 per tungku. Untuk tahap awal tungku-tungku hemat dan sehat ini akan didistribusikan ke masyarakat di Jawa Tengah dan Jogyakarta," tutupnya.

Post a Comment

Redaksi menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim (baca Disclaimer). Pembaca juga dapat melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA.

Powered by Blogger.